“Sejarah yang hilang” bukan selalu berarti masa lalu yang tak pernah terjadi, melainkan peristiwa, tokoh, pengetahuan, dan praktik budaya yang kurang terdokumentasi, tersebar dalam naskah lokal, atau tertutup oleh arus narasi dominan. Indonesia yang majemuk dan maritim wajar menyisakan ruang kosong: tidak semua pelabuhan mencatat manifes, tidak semua komunitas menulis aksaranya, dan tidak semua memori lolos dari perang, bencana, atau sensor.
Mengapa Sejarah Bisa Hilang?
-
Iklim & Material: Kelembapan tropis mempercepat pelapukan kertas daun lontar/serat; tinta memudar, jamur tumbuh.
-
Politik Arsip: Kolonialisme, perang, dan rezim politik tertentu mengubah apa yang dianggap layak disimpan/dituturkan.
-
Bias Pusat–Daerah & Urban–Rural: Narasi Jawa-sentris/ibukota-sentris membuat kisah pinggiran luput.
-
Bahasa & Aksara: Pergeseran aksara lokal ke Latin membuat generasi baru sulit mengakses naskah lama.
-
Ekonomi Pengetahuan: Digitalisasi mahal; komunitas adat kerap tak punya infrastruktur pengarsipan.
Metode Memulihkan Sejarah
-
Arkeologi & Epigrafi: Menggali situs, membaca prasasti (batu, tembaga), contextual dating, provenance.
-
Filologi Naskah: Transliterasi dan kritik teks terhadap lontaraq (Bugis-Makassar), babad Jawa/Sunda, hikayat Melayu, pegon/jawi, Batak, Rejang, Wolio, dll.
-
Sejarah Lisan & Etnohistori: Merekam kesaksian tetua adat, nyanyian epik (mis. I La Galigo), ritual, toponimi.
-
Kartografi & Logbook: Peta pelayaran VOC/Arab/India/Tiongkok, log kapal, daftar cukai pelabuhan.
-
Digital Humanities: Pemindaian beresolusi tinggi, OCR aksara tradisional, crowdsourced transcription, metadata terbuka, dan versioning.
Studi Kasus “Sejarah yang Hilang” di Nusantara
- Sriwijaya — Banyak jejaknya berupa prasasti tersebar dan catatan asing; arsitektur kayu di rawa-rawa sulit bertahan. Kita mengandalkan indirect evidence (toponimi, artefak pelayaran, catatan Buddhis/Tiongkok).
- Majapahit & Pelabuhan — Narasi agraris istana kuat, sementara jaringan pelabuhan, saudagar, dan awak kapal Nusantara acap kurang diperlihatkan. Arkeologi maritim dan temuan keramik membantu mengisi celah.
- Kepulauan Timur (Maluku–Nusa Tenggara–Papua) — Perdagangan rempah, jaringan sultanat (Ternate–Tidore) hingga jejaring lokal menunjukkan dinamika yang sering diringkas. Sejarah lisan komunitas pulau kecil menyimpan detail rute, perang, dan perkawinan politik.
- Perdagangan Budak Nusantara — Praktik ini lintas abad dan lintas aktor (lokal–regional–global) namun minim narasi publik. Jejaknya tampak pada istilah dagang, catatan cukai, dan runaway ads di koran kolonial.
- Perempuan dalam Perlawanan — Selain nama besar seperti Cut Nyak Dien atau Martha Christina Tiahahu, ada jejaring logistik, intel, perawat, dan fundraising perempuan yang jarang ditulis.
- Komunitas Tionghoa, Arab, India — Peran penting dalam pelabuhan, percetakan, pendidikan, jaringan niaga, dan seni—sering hanya muncul sambil lalu dalam buku pelajaran.
- Aksara Nusantara — Kawi, Lontara, Batak, Rejang, Jawi/Pegon, Wolio, dsb. Banyak naskah keluarga/masjid/surau yang belum terdigitalisasi. Gerakan komunitas mulai menghidupkan kembali via kelas baca aksara dan font digital.
- Diaspora & Perbatasan — Jejak orang Nusantara di Semenanjung Malaya, Singapura, pesisir Australia Utara, hingga Timor—membuka perspektif lintas batas negara modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar